By. Ridho Hudayana Ketika di Sekolah Menengah Pertama dulu mungkin disekolah tidak banyak yang mengenal seorang Ridho, karena selain mema...
Ketika di Sekolah Menengah Pertama dulu mungkin disekolah tidak banyak yang mengenal seorang Ridho, karena selain memang tidak pernah sama sekali mau mengambil posisi apapun di semua organisasi, sampai-sampai ketika pemilihan petugas di kelas, untuk seksi kebersihanpun saya tolak, karena Organisasi pada waktu itu semacam suatu hal yang mengerikan dan harus dihindari.
Memang lebih pada factor diri saya yang pendiam, tidak punya banyak teman dan saya merasa tidak punya kepandaian dalam berbicara atau berpendapat secara lisan, juga awalnya karena tidak berani berbicara didepan teman-teman dikelas. Semua kejadian saya simpan didalam hati, dan sebagian saya tumpahkan dalam bentuk puisi yang saya tulis setiap hari dalam buku khusus puisi saya.
Lengkaplah sudah phobia saya terhadap organisasi menjadi-jadi, dan dilengkapi dengan pengalaman saya mengikuti kegiatan pramuka yang saya saksikan adalah senior yang songong-songong dan tidak mendidik sama sekali, selain hanya untuk menunjukkan kalau dia itu senior dan saya junior yang layak ditindas danjadi mainan, maka membuat saya semakin antipati untuk ikut organisasi.
Walaupun saya antipasti terhadap organisasi di sekolah, namun saya tidak menolak untuk aktif di remaja masjid didekat rumah saya, mungkin karena juga remaja masjid itu belum berbentuk organisasi, jadi orang-orangnya masih sangat egaliter. Disini saya menikmati untuk berinteraksi dengan orang lain dan mulai mencari Islam diluar buku pelajaran. Memang mengasyikkan, karena saya mulai menyenangi menulis dan mengisi majalah dinding yang saya terbitkan bersama teman-teman setiah hari jum’at.
Sampai pada puncaknya pada saat mulai kelas 3 SMP saya dikenalkan mentoring atau pengajian kerohanian Islam pekanan disebuah SMA oleh seorang teman remaja masjid yang dia bersekolah disitu, dimana juga dulu kakak saya yang nomer dua pernah bersekolah disana, mulailah bangkit rasa ke-Islaman saya untuk mencari bnyak hal tentang Islam diluar buku sekolah dan kelas.
Namun demikian saya juga menyadari saya tetap perlu sekolah yang bernuansa Islam dan pelajarannya juga lebih banyak tentang Ke-Islamannya. Saya sudah tidak berfikir sekolah yang favorit, yang ada dalam benak saya adalah bagaimana bisa bertaubat dan banyak memahami Islam. Maka sayapun kerap berdiskusi dengan Ibu saya tentang keinginan saya tersebut, dan Ibu saya hanya punya saran untuk masuk Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 2 Pontianak, karena memang dahulu kala ibu saya pernah sekolah disana, yang pada waktu itu MAN 2 namanya masih PGA (Pendidikan Guru Agama) Islam selama 6 tahun.
Sebelum saya menguatkan langkah untuk bersekolah di MAN 2, ibu saya bertanya sudah siap belajar pelajaran yang tidak mudah yaitu Bahasa Arab , dan saya sudah tidak berfikir tentang sulitnya, karena azzam telah terpancang kuat dihati untuk memilih MAN 2, sebagai pendakian untuk membayar ketertinggalan saya dalam berorganisasi dan ke-Islaman saya selama ini.